Selasa, 14 Mei 2013

TUGAS 4


TUGAS 4

1.   Jika Peredaran uang di Indonesia dianggap dapat menimbulkan inflasi maka Bank Indonesia Sebagai        Pelaksanaan kebijaksanaan meneter adlah melakukan tindakan ?


langkah-langkah BI
 
BI menyadari adanya ancaman meningkatnya tekanan inflasi (karena kenaikan harga BBM) dan masalah kelebihan likuiditas. Hal ini terlihat dari pernyataan para pejabat BI bahwa BI akan memperketat kebijakan moneternya.
 
Pernyataan tersebut dibuktikan dalam dua lelang SBI terakhir di bulan April, yang menghasilkan peningkatan suku bunga SBI. Suku bunga SBI satu bulan mencapai 7,70 persen dalam lelang terakhir, naik cukup signifikan dari 7,44 persen pada akhir bulan Maret.
 
Akan tetapi, bila dilihat dari sisi penyerapan kelebihan likuiditas, dapat dikatakan BI belum berbuat apa-apa. Hal ini terlihat dari data dua lelang terakhir. Pada minggu pertama bulan April, SBI yang diterbitkan (BI menyerap uang) mencapai Rp 64,72 triliun, sedangkan SBI yang jatuh tempo (BI menyuplai uang) mencapai Rp 71,99 triliun. Dan, pada lelang minggu ke tiga bulan April, SBI yang diterbitkan mencapai Rp 46,07 triliun, sedangkan yang jatuh tempo Rp 52 triliun.
 
Jadi, dalam dua lelang terakhir, dana yang diserap BI lebih sedikit dari dana yang dikeluarkan, atau terjadi penambahan uang di dalam sistem perekonomian (ada kemungkinan BI menyerap tambahan uang tersebut dengan Fasilitas Bank Indonesia/FASBI, namun sulit untuk memastikan hal tersebut karena datanya belum ada).
 
Hasil yang dicapai dari lelang SBI tersebut adalah kenaikan suku bunga SBI. Dan, kenaikan tersebut telah menekan harga obligasi, yang menimbulkan kepanikan pada industri reksa dana yang terlihat dari redemption yang masif. Untuk membantu menenangkan industri reksa dana, BI telah membeli obligasi pemerintah di pasar sekunder sebanyak dua kali. Masing-masing sebesar Rp 4,3 triliun (7 April 2005) dan Rp 2,2 triliun (13 April 2005).
 
Dalam proses pembelian tersebut, BI membayarkan uang kepada pemilik lama obligasi yang dibeli. Artinya, ada tambahan uang lagi ke sistem perekonomian. Hal ini membuat kebijakan menaikkan suku bunga SBI semakin tidak efektif. Di bulan April, BI tidak menyerap kelebihan likuiditas yang ada di pasar. Malah sebaliknya, BI menambah suplai uang ke dalam sistem perekonomian, yang memberi tekanan tambahan terhadap laju inflasi dan terhadap rupiah. Akibatnya, rupiah semakin terpuruk.
 
Pelajaran dari krisis lalu
 
Kekonsistenan sangat diperlukan dalam kebijakan moneter. Harus diperhatikan bahwa, dalam jangka pendek, penurunan laju pertumbuhan suplai uang (kebijakan moneter ketat) berasosiasi dengan kenaikan suku bunga. Dan, kenaikan laju pertumbuhan suplai uang (kebijakan moneter yang longgar) berasosiasi dengan penurunan suku bunga.
 
Jadi, dalam melakukan kebijakan moneter, selain memerhatikan arah pergerakan suku bunga, bank sentral juga harus memerhatikan arah laju pertumbuhan suplai uang. Membuat kedua variabel tersebut bergerak searah akan membingungkan pasar dan dapat membuat kebijakan moneter menjadi tidak efektif.
 
Krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997-1998 dapat memberikan pelajaran yang amat berharga buat kita bahwa cara mengendalikan laju inflasi yang paling efektif adalah dengan mengendalikan laju pertambahan suplai uang (M1).
 
Pada masa krisis kita sering mendengar klaim bahwa Indonesia melakukan kebijakan moneter ketat. Hal itu dapat dilihat dari kenaikan suku bunga yang amat tinggi. Pada puncaknya, suku bunga SBI mencapai sekitar 70 persen. Tetapi, pada masa tersebut kita merasakan laju inflasi yang tinggi pula, bahkan pernah mencapai sekitar 80 persen (gambar 1). Apakah kebijakan moneter ketat tersebut tidak efektif? Iya, kalau dilihat dari suku bunga saja.
 
Tetapi, kalau dilihat dari sisi laju pertumbuhan suplai uang, sebenarnya Indonesia tidak melakukan kebijakan uang ketat pada saat itu. Yang terjadi bahkan sebaliknya, M1 tumbuh dengan amat pesat (di atas 50 persen). Hal itulah yang membuat laju inflasi menjadi lebih tinggi pada tahun 1998.
 
Sementara itu, negara tetangga kita berhasil melakukan kebijakan moneter ketat yang lebih efektif. Thailand, misalnya, hanya menaikkan suku bunga ke level sekitar 20 persen. Akan tetapi, negara tersebut dapat mengendalikan laju pertumbuhan suplai uangnya dengan lebih baik. Pertumbuhan M1 berfluktuasi di sekitar nol persen pada masa krisis, bahkan sering memiliki nilai negatif. Akibatnya, laju inflasi dapat ditekan di bawah sepuluh persen pada masa krisis (gambar 2).
 
Malaysia bahkan dapat menekan laju pertumbuhan M1 tanpa harus menaikkan suku bunga signifikan. Akibatnya, inflasi yang dialami negara tersebut bahkan lebih kecil lagi dibandingkan dengan yang dialami Thailand (gambar 3).
 
Data pada masa krisis juga memperlihatkan, laju pertumbuhan uang yang terkendali dapat juga mengurangi tingkat pelemahan nilai tukar. Pada masa krisis, depresiasi maksimum dari nilai tukar ringgit Malaysia adalah 45 persen (dibandingkan dengan nilai tukar pada bulan Januari 1997) dan depresiasi maksimum nilai tukar baht Thailand adalah 52 persen. Sementara itu, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi maksimum 84 persen.
 
Konsistensi kebijakan
 
Kita tidak perlu terlalu panik dengan pelemahan rupiah saat ini. Nilai tukar rupiah pada level sekarang tidak akan mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia secara signifikan. Di samping itu, peluang terjadinya krisis mata uang lagi seperti tahun 1997-1998 amatlah kecil.
 
Pertama-tama, cadangan devisa Indonesia sekarang cukup besar. Selain itu, bank sentral di kawasan Asia mempunyai cadangan devisa dollar AS yang cukup besar (lebih dari 2 triliun dollar AS) untuk mencegah penguatan dollar AS yang terlalu berlebihan.
 
Selain itu, sekarang sudah ada perjanjian antar-bank sentral di kawasan Asia, yang disebut Chiang Mai Initiative, di mana Indonesia dapat meminjam uang lebih dari 10 miliar dollar AS, 1 miliar dollar AS di antaranya dapat dicairkan tanpa persyaratan yang rumit.
 
Lebih jauh lagi, penambahan instrumen moneter yang dilakukan BI tentunya akan membuat pengendalian nilai tukar menjadi lebih mudah. Namun, BI harus tetap menjaga komitmennya untuk mengendalikan laju inflasi dengan mengendalikan laju pertumbuhan suplai uang.
 
Laju inflasi yang terkendali pada akhirnya akan menurunkan ekspektasi inflasi dan juga akan menurunkan ekspektasi terhadap pelemahan nilai tukar rupiah. Dan, untuk mencapai hal tersebut, kebijakan moneter harus dilakukan secara konsisten. Misalnya pada saat ingin melalukan kebijakan moneter yang ketat, sebaiknya tidak melakukan pembelian obligasi di pasar sekunder karena hal itu akan meningkatkan laju pertumbuhan suplai uang dan membuat kebijakan moneter ketat menjadi tidak efektif.
 
2. factor utama yang menyebabkan timbulnya perdagangan internasional
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perdagangan internasional dapat diuraikan sebagai berikut.

a. Perbedaan Sumber Alam
Suatu negara mempunyai kekayaan alam yang berbeda, sehingga hasil pengolahan alam yang dinikmati juga berbeda. Oleh karena sumber kekayaan alam yang dimiliki suatu negara sangat terbatas, sehingga diperlukan tukar-menukar atau perdagangan.

b. Perbedaan Faktor Produksi
Selain faktor produksi alam, suatu negara mempunyai perbedaan kemampuan tenaga kerja, besarnya modal yang dimiliki, dan keterampilan seorang pengusaha. Oleh karena itu, produk yang dihasilkan oleh suatu negara juga mengalami perbedaan, sehingga dibutuhkan adanya perdagangan.

c. Kondisi Ekonomis yang Berbeda
Karena adanya perbedaan faktor produksi yang mengakibatkan perbedaan biaya produksi yang dikeluarkan untuk membuat barang, maka bisa jadi dalam suatu Negara memerlukan biaya tinggi untuk memproduksi barang tertentu. Sehingga negara tersebut bermaksud mengimpor barang dari luar negeri karena biayanya dianggap lebih murah.

d. Tidak Semua Negara Dapat Memproduksi Sendiri Suatu Barang
Karena keterbatasan kemampuan suatu negara, baik kekayaan alam maupun yang lainnya, maka tidak semua barang yang dibutuhkan oleh suatu negara mampu untuk diproduksi sendiri, untuk itulah diperlukan tukar-menukar antarbangsa.

e. Adanya Motif Keuntungan dalam Perdagangan
Biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang selalu terdapat perbedaan. Adakalanya suatu negara lebih untung melakukan impor daripada memproduksi sendiri. Namun, adakalanya lebih menguntungkan kalau dapat memproduksi sendiri barang tersebut, karena biaya produksinya lebih mudah. Oleh karena itu, negara-negara tersebut akan mencari keuntungan dalam memperdagangkan barang hasil produksinya.

f. Adanya Persaingan Antarpengusaha dan Antarbangsa
Persaingan ini akan berakibat suatu negara meningkatkan kualitas barang hasil produksi dengan biaya yang ringan, sehingga dapat bersaing dalam dunia perdagangan.

3.ciri-ciri suatu Negara yang telah berhasil membangun Negara di lihat dari

 Dalam era globalisasi seperti saat ini, kamajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu negara. Oleh karena itu untuk mengidentifikasi suatu negara apakah termasuk sebagai negara maju atau negara berkembang dapat dilihat dari kemajuan teknologi dan hasil pembangunannya.
Menentukan suatu negara tergolong negara maju atau negara berkembang tidak hanya dipandang dari sudut pendapatan per kapita negara tersebut. Banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan seperti perumbuhanpenduduk, tingkat kesehatan, tingkat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, angka kelahiran dan kematian, angka harapan hidup dan sebagainya.

    Negara Maju

Negara maju dapat didefinisikan sebagai suatu negara yang memiliki tingkat kemakmuran penduduk yang cukup tinggi, jika dibandingkan dengan negera lainnya. Adapun ciri-ciri negara maju, adalah sebagai berikut :
1. Sebagian besar penduduknya bekerja pada sektor industri dan jasa
2. Pendapatan perkapitanya tinggi, yaitu di atas 10.000 US $.
3. Sektor pertanian dikelola secara intensif dan menggunakan alat- alat modern.
4. Sumber daya manusianya berkualitas baik/tinggi.
5. Pertumbuhan penduduk rendah yaitu 0,1% - 1% setiap tahunnya.

 Negara Berkembang

Negara berkembang adalah negara yang memiliki tingkat pendapatan per kapita yang rendah. Hal ini yang penyebabkan negara- negara berkembang terus berusaha bergerak maju membangun negaranya dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan penduduknya.
Adapun ciri-ciri negara berkembang, adalah sebagai berikut :

1. Sebagian besar penduduk bekerja di bidang pertanian.
2. Pendapatan per kapita rendah yaitu di bawah 10.000 US $.
3. Tingkat pertumbuhan penduduknya tinggi yaitu di atas 2 %
4. Tingkat pengangguran sangat tinggi dikarenakan kurangnya lapangan pekerjaan.
5. Kualitas sumber daya manusianya rendah, sehinga penguasaan ilmu dan teknologi terhambat.

4. benarkah inflasi selalu merugikan?

Tidak, karena  Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi Bagi orang yang meminjam uang dari bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam. Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar). Namun, bila inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha kecil).
Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara, mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.

TUGAS 3


TUGAS 3

1.      PENDAHULUAN
Penanaman modal merupakan segala kegiatan menanamkan modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang memiliki sumber daya alam melimpah dari pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, maupun pertambangan. Tidak serta merta sumber daya alam melimpah, dapat diambil dengan sendirinya ataupun diolah. Perlu dibangun infrstruktur sarana prasarana dalam mengolahnya oleh negara indonesia melalui pemerintah. Untuk itu, timbulnnya keinginan untuk menarik investor, yang dimulai  sejak jaman orde baru hingga sekarang. Tetapi Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia mengalami krisis moneter. Krisis moneter ini diawali dengan terdefresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Defresiasi nilai tukar rupiah makin tajam sehingga krisis moneter yang terjadi tersebut berlanjut menjadi krisis ekonomi yang dampaknya terasa hingga saat ini.sehingga investor asing enggan menaruh investasinnya lagi dan Pertumbuhan ekonomi berjalan sangat lambat.
Salah satu cara untuk membangkitkan atau menggerakkan kembali perekonomian nasional seperti sediakala sebelum terjadinya krisis ekonomi adalah kebijakan mengundang masuknya investasi di Indonesia. Investasi, khususnya investasi asing sampai hari ini merupakan faktor penting untuk menggerakkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Harapan masuknya investasi asing dalam kenyataannya masih sulit untuk diwujudkan. Faktor yang dapat mempengaruhi investasi yang dijadikan bahan pertimbangan investor dalam menanamkan modalnya, antara lain : Pertama faktor Sumber Daya Alam, Keduafaktor Sumber Daya Manusia, Ketiga faktor stabilitas politik dan perekonomian, guna menjamin kepastian dalam berusaha, Keempat faktor kebijakan pemerintah, Kelima faktor kemudahan dalam perizinan.
Tetapi dengan masuknya perusahaan asing ini dalam kegiatan investasi di Indonesia dimaksudkan sebagai pelengkap untuk mengisi sektor-sektor usaha dan industri yang belum dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak swasta nasional, baik karena alasan teknologi, manajemen, maupun alasan permodalan. Modal asing juga diharapkan secara langsung maupun tidak langsung dapat lebih merangsang dan menggairahkan iklim atau kehidupan dunia usaha dalam berbagai bidang usaha, serta dapat dimanfaatkan sebagai upaya menembus jaringan pemasaran internasional melalui jaringan yang mereka miliki. Selanjutnya modal asing diharapkan secara langsung dapat mempercepat proses pembangunan ekonomi Indonesia.

2.      MASALAH
1.      Apa peranan penanaman modal asing bagi negara berkembang?
2.      Faktor apa yang menyebabkan investor asing enggan masuk ke Indonesia?
3.      Bagaimanakah penyelesaian sengketa dalam penanaman modal asing?


3.      PEMBAHASAN
A.    PERANAN PENANAMAN MODAL ASING BAGI NEGARA BERKEMBANG
Secara garis besar, penanaman modal asing terhadap pembangunan bagi negara sedang berkembang  seperti negara Indonesia dapat diperinci menjadi lima hal yaitu :
-          Sumber dana eksternal (modal asing) dapat dimanfaatkan oleh negara sedang berkembang sebagai dasar untuk mempercepat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
-          Pertumbuhan ekonomi yang meningkat perlu diikuti dengan perpindahan struktur produksi dan perdagangan.
-          Modal asing dapat berperan penting dalam memobilisasi dana maupun transformasi struktural.
-          Kebutuhan akan modal asing menjadi menurun segera setelah perubahan struktural benar-benar terjadi meskipun modal asing di masa selanjutnya lebih produktif.
-          Bagi negara-negara sedang berkembang yang tidak mampu memulai membangun industri-industri berat dan industri strategis, adanya modal asing akan sangat membantu untuk dapat mendirikan pabrik-pabik baja, alat-alat mesin, pabrik elektronik, industri kimia dasar dan sebagainya.
Selama ini investor domestik di negara sedang berkembang yang enggan melakukan usaha yang beresiko tinggi seperti eksploitasi sumber-sumber daya alam yang belum dimanfaatkan dan membuka lahan-lahan baru, maka hadirnya investor asing akan sangat mendukung merintis usaha dibidang-bidang tersebut. Adanya pengadaan prasarana negara, pendirian industri-industri baru, pemanfaatan sumber-sumber baru, pembukaan daerah-daerah baru, akan membuka kecenderungan baru yaitu meningkatkan lapangan kerja. Sehingga tekanan pendudukan pada tanah pertanian berkurang dan pengangguran dapat diatasi. Inilah keuntungan sosial yang diperoleh adanya kehadiran investor asing. Adanya transfer teknologi mengakibatkan tenaga kerja setempat menjadi terampil, sehingga meningkatkan marginal produktifitasnya, akhirnya akan meningkatkan keseluruhan upah riil. Semua ini menunjukkan bahwa modal asing cenderung menaikkan tingkat produktifitas, kinerja tenaga kerja Negara tujuan penanaman modal dan pendapatan nasional.

B.     KENDALA INVESTASI ASING DI INDONESIA
Adanya keengganan masuknya investasi asing dan adanya indikasi relokasi investasi ke negara lain disebabkan karena tidak kondusifnya iklim investasi di Indonesia dewasa ini. Apabila ditinjau dari Undang-Undang Penanaman Modal, sudah dapat dikatakan bahwa Undang-undang tersebut mencakup semua aspek penting, seperti pelayanan, koordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban investor, ketenagakerjaan, dan sector-sektor yang dapat dimasuki investor. Hal tersebut diupayakan secara maksimal agar terjad peningkatan investasi di Indonesia dari sisi pemerintah dan kepastian berinvestasi dari sisi pengusaha/investor. Beberapa poin penting dalam Undang-Undang Penanaman Modal, diantaranya adalah pada bab I pasal 1 Nomer 10 terkait pelayanan terpadu satu pintu. Yang artinya bahwa system pelayanan tersebut diharapkan dapat mengakomodasi keinginan investor/pengusaha untuk memperoleh pelayanan yang lebih efisien, mudah, dan cepat. Sehingga bagi manca Negara yang ingin berinvestasi disebuah wilayah Indonesia, tidak perlu lagi menunggu dengan waktu yang lama untuk memperoleh izin berinvestasi di Indonesia, bahkan tidak perlu lagi mengeluarkan biaya pajak maupun pungutan lain akibat panjangnya jalur birokrasi.
Kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal yang terdapat dalam pasal 4 Nomer 2b, belum sepenuhnya terlaksana. Hasil studi LPEM-FEUI (2001) menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi pengusaha dalam melakukan investasi di Indonesia selain persoalan birokrasi, ketidakpastian biaya investasi yang harus dikeluarkan serta perubahan peraturan pemerintah daerah yang tidak jelas atau muncul tiba-tiba, juga kondisi keamanan, social dan politik Indonesia. Bahkan, World Economic Forum (2007), menunjukkan dari 131 negara, Indonesia berada dalam urutan ke-93 mengenai perlindungan bisnis. Kendala perijinan penanaman modal di Indonesia, juga menjadi penghambat. Karena izin investasi tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi harus menjadi satu paket  dengan izin-izin lain yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kegiatan usaha dan menentukan untung-ruginya suatu usaha. Misalnya di sector perhotelan, jumlah izin yang diperlukan mencapai 37 buah, karena setiap bagian dari hotel harus memiliki izin khusus dari departemen yang terkait. Kondisi perizinan penanaman modal yang rumit ini, seringkali membuat para penanam modal membatalkan niatnya untuk berinvestasi di Indonesia. Meskipun pelayanan terpadu satu pintu sudah diterapkan.
Hasil survey World Economic Forum (WEF) tahun 2007 menunjukkan, bahwa 8.5% dari jumlah pengusaha di Indonesia yang menjadi responden mengatakan bahwa permasalahan utama mereka adalah peraturan ketenagakerjaan yang restriktif, 10.7% mengeluhkan ketidakstabilan kebijakan, dan 16.1% mempermasalahkan birokrasi yang tidak efisien. Khusus masalah birokrasi, yang tercerminkan oleh antara lain prosedur administrasi dalam mengurus investasi seperti perizinan, peraturan atau persyaratan lainnya yang berbelit-belit dan langkah prosedurnya yang tidak jelas. Hal ini merupakan masalah klasik yang membuat investor enggan berinvestasi di Indonesia. Sehingga permalahan ini menjadi kendala tertinggi penanaman modal asing di Indonesia. Masalah ini bukan hanya membuat banyak waktu yang terbuang, tetapi besarnya biaya yang harus ditanggung oleh pengusaha atau calon investor. Diantara Negara-negara ASEAN, hasil survey WEF menunjukkan Indonesia berada pada posisi ke-3 setelah Singapura dengan birokrasi yang paling efisien atau biaya birokrasi paling murah (tidak hanya di ASEAN tetapi juga dunia menurut versi WEF) dan Malaysia.

C.     PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL
Undang-undang penanaman modal juga mengatur mengenai penyelesaian sengketa penanaman modal. Aturan tersebut terdapat dalam bab XV pasal 32. Pasal tersebut berbunyi:
-          Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penenam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui mufakat.
-          Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternative penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
-          Dalam hal terjadi sengketa dibidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.
-          Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.
Kompetensi absolute arbitrase untuk menyelesakan suatu perkara bergantung pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak. Ada dua bentuk perjanjian arbitrase, yakni factum de compromitendo dan akta kompronis. Di dalam factum de compromitendo, para pihak yang membuat kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul melalui forum arbitrase. Perjanjian arbitrase ini melekat pada suatu perjanjian yang dibuat para pihak, seperti perjanjian usaha patungan dan keagenan. Oleh karena ia merupakan bagian dari suatu perjanjian tertentu, maka ia disebut sebagai klausul arbitrase.
Pada saat mereka mengikatkan diri dan menyetujui klausul arbitrase sama sekali belum terjadi sengketa atau perselisihan. Klausul arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul pada waktu yang akan dating. Jadi, sebelum terjadi perselisihan para pihak telah bersepakat dan mengikatkan diri untuk menyelesaikan perselisihan yang akan terjadi oleh arbitrase.
Bentuk perjanjian yang kedua adalah akta kompronis atau compromise settlement (perdamaian yang dicapai di luar pengadilan). Akta kompronis ini dibuat setelah timbul perselisihan antara para pihak. Setelah para pihak mengadakan perjanjian, dan perjanjian sudah berjalan, kemudian timbul perselisihan. Sebelumnya, baik dalam perjanjian yang bersangkutan ataupun akta tersendiri, tidak diadakan perjanjian arbitrase. Dalam kasus seperti ini, apabilapara pihak menghendaki agar perselisihan diselesailkan malalui forum arbitrase, mereka dapat membuat perjanjian untuk itu. Dewasa ini sudah ada pengaturan yang tegas berkaitan dengan kompetensi absolute arbitrase. Pengaturan tersebut terdapat dalam Undang-Undang No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Berdasarkan undang-undang ini arbitrase di Indonesia memiliki kedudukan dan kewenangan yang semakin jelas dan kuat. Pasal 3 Undang-Undang No 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berhak untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Dengan demikian, pengadilan tidak berwenang untuk mencampuri suatu sengketa bilamana dicantumkan sebuah klausul arbitrase dalam suatu kontrak. Tujuan arbitrase sebagai alternative bagi penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan menjadi sia-sia manakala pengadilan masih bersedia memeriksa sengketa yang sejak semula disepakati diselesaikan melalui arbitrase. Larangan campur tangan pengadilan itu hanya untuk menegaskan bahwa arbitrase adalah sebuah lembaga yang independen. Sehingga pengadilan wajib untuk menghormati lembaga arbitrase. Meskipun arbitrase merupakan suatu lembaga independen yang terpisah dari pengadilan, tidak berarti bahwa tidak ada kaitan erat diantara keduanya. Lembaga arbitrase membutuhkan dan bergantung pada pengadilan, misalnya dalam pelaksanaan putusan arbitrase.

4.      KESIMPULAN
A.    Hadirnya investor asing akan sangat mendukung merintis usaha-usaha seperti mendirikan pabrik-pabik baja, alat-alat mesin, pabrik elektronik, industri kimia dasar dan sebagainya. Hal tersebut akan membuka kecenderungan baru yaitu meningkatkan lapangan kerja.
B.     Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya keengganan masuknya investasi asing ke Indonesia. Faktor-faktor yang dapat menjadi pendukung masuknya arus investasi ke sebuah negara, seperti jaminan keamanan, stabilitas politik, dan kepastian hukum, yang tampaknya menjadi permasalahan tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Ketidakkonsistenan penegakkan hukum masih menjadi faktor penghambat daya tarik Indonesia bagi investasi asing.
C.     Adanya undang-undang penanaman modal yang mengatur penyelesaian sengketa penanaman modal. Aturan tersebut terdapat dalam bab XV pasal 32.



5.      SARAN
A.    Agar implementasi penanaman modal asing ataupun dalam negeri harus dimonitor secara ketat guna kelancaran investasi.
B.     Agar pemerintah lebih konsisten dalam penegakkan hukum
C.     Agar pemerintah pusat lebih memperhatikan undang-udang atau kebijakan lain yang sejalan atau mendukung adanya penanaman modal asing  di Indonesia.

6.      REFERENSI
-          Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
-          Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
-          Curry, Jeffry Edmund. 2001, Memahami Ekonomi Internasional, Memahami Dinamika Pasar Global, Penerbit PPM, Jakarta
-          Dirdjosisworo, Soedjono. 1999, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal di Indonesia, cetakan Pertama, CV. Mandar Maju
-          Hartono, Sri Redjeki. 2007, Hukum Ekonomi Indonesia, cetakan Pertama, Bayumedia Publishing, Malang
-          Hollis B, Chenery dan Carter, Nicholas G. 1973, Foreign Assistance and Development Performance, 1960-1970, American Economic Review, vol 63, No.2, Mei 1973
-          Jatmika, Sidik. 2001, Otonomi Daerah, Perspektif Hubungan Internasional, Biagraf Liberty, Yogyakarta.
-          Kartadjoemana, H.S. 1996, GATT DAN WTO, Sistem, Forum dan Lembaga Internasional dibidang Perdagangan, cetakan Pertama, Universitas Indonesia
-          Rajagukguk, Erman, et.al. 1995, Hukum Investasi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok
-          Tulus Tahi Hamonangan Tambunan, Dkk. 2007, Jurnal Hukum Dan Bisnis Volume 24-No 4 Tahun 2007. ISSN: 0852/4912.  Yayasan Pemgembangan Hukum Bisnis: Jakarta




7.      NAMA KELOMPOK/NPM
-          Annisa Oktafiyani / 20212969
-          Bunga Ika Sari / 21212527
-          Novi Yanti / 25212393
-          Putri Kusumandari / 25212771